KAB.MAJALENGKA – Penjualan tanah bengkok di Desa Bongas Wetan, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka, menjadi sorotan setelah Kepala Desa Mamat Saripudin diduga melanggar regulasi yang mengatur pengelolaan kekayaan desa. Berdasarkan informasi, tanah seluas ±10 hektare dijual kepada PT Indoplas Footware Indonesia seharga Rp11,93 miliar tanpa memenuhi prosedur hukum yang diatur dalam Permendagri No. 4 Tahun 2007.
Regulasi yang Dilanggar
Permendagri No. 4 Tahun 2007 menegaskan bahwa tanah desa, termasuk tanah bengkok, hanya boleh dilepaskan untuk kepentingan umum dengan mekanisme ketat. Proses ini harus melibatkan persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), izin tertulis dari bupati/wali kota, hingga gubernur, dan wajib disertai ganti rugi yang sesuai.
Namun, kasus di Bongas Wetan menunjukkan pelanggaran serius. Tanah produktif di Blok Sawah Asem, Blok Kosambi Pandak, dan Blok Gaul dijual seharga Rp225.000 per meter persegi, yang dinilai jauh dari nilai pasar dan potensi produktivitasnya. Dugaan penyalahgunaan kekuasaan ini terungkap melalui Surat Keterangan No. 141/578/XI/Pemdes/2021, yang ditandatangani Kepala Desa pada 1 November 2021.
Potensi Korupsi dan Penyalahgunaan Jabatan
Dugaan korupsi menguat mengacu pada UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kepala Desa yang terbukti menjual tanah desa untuk kepentingan pribadi dapat dikenai hukuman berat, termasuk penjara seumur hidup atau denda hingga Rp1 miliar.
Tokoh pergerakan Kabupaten Majalengka, Saeful Yunus, menyatakan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pelanggaran yang terang-terangan. “Lahan produktif tidak boleh dialihfungsikan tanpa persetujuan pemerintah pusat dan provinsi. Ini adalah dugaan penyalahgunaan kewenangan yang harus ditindak tegas,” ungkapnya.
Tuntutan Transparansi dan Penegakan Hukum
Saeful Yunus juga mendesak agar aparat penegak hukum segera mengambil langkah konkret. “Kasus ini harus menjadi peringatan bagi kepala desa lain agar tidak mengutamakan keuntungan pribadi di atas kesejahteraan masyarakat. Supremasi hukum harus ditegakkan,” tegasnya.
Masyarakat Desa Bongas Wetan turut mempertanyakan ke mana aliran dana hasil penjualan tanah tersebut. Hingga kini, tidak ada transparansi terkait alokasi uang Rp11,93 miliar yang seharusnya digunakan untuk kepentingan desa.
Ujian Bagi Hukum dan Keadilan
Kasus ini bukan hanya persoalan lokal, tetapi juga ujian besar bagi integritas hukum di Indonesia. Penegakan hukum terhadap pelaku diharapkan tidak hanya memberi efek jera, tetapi juga menjadi contoh bagi pengelolaan kekayaan desa yang lebih transparan dan bertanggung jawab.
Kasus Desa Bongas Wetan menjadi gambaran nyata bahwa hukum harus berpihak pada keadilan masyarakat, bukan kepentingan pribadi segelintir pihak.***